Bismillaahirrahmanirrahiim, Assalamu'alaikum Warahmutullaahi Wabarakaatuh
Mendiskusikan tentang Sholat, mungkin ada manfaatnya saya kutipkan disini beberapa tulisan Dr. Haidar Baqir seputar Makna dan Hakikat Sholat. Saya kutipkan pengantar dan pendahuluannya saja dari rangkaian tulisan sederhana dari penulis tsb, semoga bermanfaat.
Pengantar
Saya tulis rangkaian tulisan sederhana ini untuk beberapa tujuan :
Pertama, untuk diri saya sendiri. Umur saya hampir setengah abad saat ini. Tapi, kenikmatan dan penghayatan shalat, saya memohon ampun kepada Allah, belum benar-benar saya rasakan. Terkadang, meski rasanya saya tak pernah meragukan kewajiban melakukan shalat dan kebijaksanan Zat yang mewajibkan syari'at ini, saya bahkan bertanya-tanya : kenapa shalat demikian ditekankan dalam ajaran Islam dibanding dengan penanaman dan praktik akhlak mulia, atau aktivitas-aktivitas konkret melakukan perbaikan dan membantu orang lain di berbagai bidang kehidupan?
Kedua, saya mendapati sekelompok Muslim, termasuk di negeri kita, yang mulai kehilangan keyakinan kepada shalat sebagai suatu unsur penting dari keislaman seseorang. Orang-orang yang menyebut diri mereka liberal ini, sampai-sampai sejauh mempromosikan semacam fideisme Islam. Yakni, beragama, dalam hal ini ber-Islam, sebatas keimanan personal – dan rasional — tanpa ritual-ritual.
Ketiga, saya juga mendapati, di tengah kegairahan orang kota untuk bertasawuf dan mengikuti berbagi paguyuban tarikat, ada kecenderungan untuk menekankan spiritualitas tanpa ritus. Mereka, sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orang yang anti tasawuf, merasa telah lebih mementingkan hakikat (hubungan manusia dengan Allah) daripada syari'at (kewajiban-kewajiban ritual) – seolah-olah hakikat sedemikian dapat dicapai tanpa syari'at. (Dan seolah-olah para sufi besar yang menjadi panutan berbagai tarikat itu tak mementingkan syari'at, khususnya shalat).
Nah, saya mendapati cara yang paling efektif untuk merespon ketiga hal di atas adalah dengan menyajikan suatu rangkaian tulisan yang dapat menjelaskan hakikat dan makna shalat yang sebenarnya, lebih dari sekadar memahaminya dengan pemahaman superfisial biasa. Yakni pemahaman yang, meski sepenuhnya bersandar pada Al-Qur'an dan Sunnah, bersifat rasional, intelektual, dan spiritual. Dari sini, terbayanglah dalam pikiran saya bahwa buku ini, selain mengungkapkan penafsiran yang lebih menukik terhadap ritus shalat, juga menyajikan pandangan para sufi atau 'arif (gnostik, ahli pengetahuan ruhani atau batin) yang tak bisa dibantah kedalaman perenungan mereka.
Penyajian pandangan kaum sufi atau 'arif ini sekaligus dapat merespon sedikitnya dua masalah yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Yakni, memuasi keperluan personal saya, mengingat saya adalah peminat dan pengagum pemikiran para sufi seperti ini, dan mengingat para pengikut tarikat tersebut di atas tak akan dapat mengelak dari menghormati pandangan para tokoh ini (kecuali kalau mereka merasa lebih bijak dari para sufi itu).. Saya menyisipkan pula pandangan Ibn Sina yang, meski seorang filosof yang rasional, dikenal pula dengan kecenderungan sufistik atau 'irfaninya.
Dengan mengungkapkan pemahaman seperti ini diharapkan, bukan saja kita akan dapat menangkap dengan lebih baik hakikat dan makna shalat, kita dapat juga menginternalisasikan perenungan kaum sufi dan 'arif tersebut di dalam diri kita agar kita benar-benar dapat mengalami pertemnuan dengan Allah Swt' lewat ibadah yang satu ini. Karena, bukankah pertemuan dengan Allah inilah yang menjadi tujuan puncak pelaksanan shalat, dan juga puncak dari upaya mujahadah kaum sufi dan 'arif ini. Saya sendiri, ketika menuliskanya, merasa menambatkan tambatan yang kuat, dalam pemikiran dan pandangan kaum sufi ini, bagi upaya untuk dapat melakukan shalat dengan khusyuk atau dengan kehadiran hati, mengingat – seperti akan dibahs di dalam salah satu tulisan, merupakan syarat bagi shalat yang sesungguhnya.
Namun, jika boleh, baiklah saya sampaikan di sini sedikit peringatan – saya enggan untuk menyebutnya nasihat – yang saya petik dari pengalaman saya sendiri. Betapapun secara mental dan spiritual kita telah mampu sedikit banyak memahami hakikat dan nilai salat, tetap saja suatu disiplin yang kuat diperlukan untuk ini. Karena, di samping kemampuan pikiran dan ruhani kita untuk mensugesti tindakan, ada juga kekuatan lain – biasa disebut sebagai dorongan keburukan atau bisikan setan – yang akan menghalang-halangi sugesti itu untuk terwujud dalam kenyataan. Disiplin inilah yang perlu terus diasah dan dilatih agar pada akhirnya jiwa kita benar-benar dapat menaklukkan kecenderungan untuk tidak menjalankan ajaran dari Sang Maha Bijak ini. Inilah yang dalam tasawuf, disebut sebagai riyadhah atau tarbiyah nafsiyah (latihan atau pendidikan kejiwaan).
Mudah-mudahan, dengan pemahaman yang benar, niat yang kuat, dan disiplin yang merupakan buah dari latihan-latihan yang keras, Allah akan mengaruniakan kepada kita penghayatan dan kenikmatan shalat, dan berbagi manfaat yang dapat kita peroleh darinya.
Akhirnya, semoga rangkaian tulisan sederhana ini dapat – jika orang lain memang mendapatkan manfaat dari membacanya — berguna juga buat diri saya, sekaligus menjadi wasilah bagi turunnya pertolongan Allah untuk menganugerahkan penghayatan, kenikmatan, dan manfaat-manfaat shalat kepada diri saya sendiri. Taqabbal Ya Allah! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar