Sabtu, 18 September 2010

Banten

Sepuluh kilometer ke barat Cilegon, Jalan Raya Pos sam­pai ke Banten Lama, bekas pusat Kesultanan Banten. Sejarah panjang perlawanan Banten terhadap kekuasaan Kompeni dan kolonialisme mewariskan pada penduduknya sampai sekarang kebanggaan atas wilayah asalnya sebagai keturunan leluhur pelawan. Sebelumnya, berkat pelabuhannya di Teluk Banten dan hasil ladanya, bukan saja bandarnya menjadi Bandar internasional yang ramai, juga Banten sendiri sebagai kerajaan Syiwais menjadi besar dan kuat, membawahi sebagian Sumatra dan sebagian Kalimantan. Bangsa Eropa pertama yang mendarat di bandar Banten adalah Portugis pada 1522. Langsung saja terjadi persahabatan dan persekutuan. Soalnya Pan-Islamisme sporadik yang berkembang untuk melawan kekuasaan laut Portugis-Spanyol telah mengancam kerajaan Banten. Maka terhadap ancaman peng-Islam-an yang datang dari kerajaan Islam pertama Demak, Banten serta-merta menyambut gembira prakarsa Portugis hendak mendirikan benteng di Banten. Lima tahun kemudian Portugis datang lagi untuk melaksanakan pembangunan benteng. Terlambat, Banten telah jatuh ke tangan kekuasaan Islam. Portugis yang disambut dengan cemoohan terpaksa pulang balik ke Malaka. Sejak itu Banten diperintah oleh para raja atau sultan Islam. Gelar sultan mulai dipergunakan oleh para raja Banten setelah terbebas dari suzereinitas kerajaan Demak dan kemudian juga dari suzereinitas kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Jauh sebelum Daendels mendarat di Anyer, pada 1596 untuk pertama kali datang armada Belanda untuk berbelanja lada. Sebagaimana halnya dengan kedatangan Portugis tiga perempat abad sebelumnya, juga Belanda disambut dengan senanghati oleh Banten. Soalnya pada tahun tersebut, Pa­ngeran Mohammad, pendiri Masjid Agung Banten, yang masih dapat disaksikan sampai sekarang, gugur dalam pe­rang melawan Palembang. Banten mengharap dapat ban­tuan dari Belanda untuk melawan Palembang. Nyatanya Belanda menolak.

Dengan panji-panji Islam, Banten memperluas pengaruh dan kekuasaannya ke seluruh Jawa Barat dalam dekade perta­ma abad 17. Di sini kekuatan Banten tertumbuk pada kekuat­an Mataram yang telah menundukkan seluruh Priangan dalam baris-jauh tentaranya untuk mengusir Kompeni Belanda dari Batavia. Kuatir pada hegemoni Mataram, Banten menolak ajakan Mataram untuk bergabung dalam mengusir Kompeni Belanda. Ofensif Mataram terhadap Batavia pada dekade ke­dua dan ketiga abad 17 memang gagal. Tetapi bagi Belanda kecurigaannya terhadap Banten yang begitu dekat dengan Batavia semakin menjadi kukuh menggelisahkan Kompeni.

Kemudian terjadilah kisah nyata spionase untuk merun­tuhkan Banten. Ini terjadi semasa pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff. Bagaimana lagi? Pelabuhan Banten adalah bandar penumpukan komoditi perdagangan interna­sional yang berasal dari seluruh wilayah Kesultanan Banten dan dari tempat-tempat sepanjang Selat Sunda. Persaingan antara Banten dan Batavia sebagai bandar dagang tak pernah menyusut. Jadi dalam pemerintahan van Imhoff, seorang gadis Arab, Fatimah, oleh Kompeni Belanda dipersembahkan pada Sultan Arifin dari Banten. Begitu diperisteri, Fatimah langsung melancarkan aksi-aksinya sesuai dengan yang dike­hendaki Kompeni Belanda. Langkah pertama adalah menga­jukan dakwaan pada Sultan bahwa putera mahkota Banten berniat hendak menyerbu istana, membunuh Sultan, dan mengangkat diri sendiri menjadi Sultan Banten. Karena lebih percaya pada Fatimah tanpa pikir panjang putera mahkota ditangkap, diserahkan pada Kompeni dengan permintaan agar dibuang ke Ambon. Dengan senanghati Kompeni mengabulkan.

Si gadis Arab kemudian mengangkat kemenakannya sen­diri menjadi putera mahkota Banten. Menyadari akan kekeli­ruannya, Sultan Arifin kehilangan akal warasnya. Suatu pembe­rontakan besar terjadi. Apalagi masih dalam hidupnya kemenakan si gadis Arab tersebut diangkat menjadi Sultan Banten. Gembira pada hasil usahanya, Gubernur Jenderal mengirimkan hadiah pada sultan baru pada hari penobatan­nya dan bukan tanpa hadiah-hadiah. Utusannya pun bukan orang sembarangan: Direktur Jenderal Jacob Mossel (kelak Gubernur Jenderal). Untuk menyelamatkan kemenangannya, Kompeni Belanda menangkap Arifin dan membuangnya ke Ambon.

Rakyat Banten yang pendapatnya tentang sultan baru tidak dipinta, menjadi marah dan meledak pemberontakan besar pada Oktober 1750. Terkena sekali pukul tentara Ratu Fatimah hancur. Juga balabantuan Kompeni yang didatang­kan dari Batavia, termasuk kesatuan-kesatuan artilerinya. Harta kekayaan Kompeni yang ikut binasa adalah setengah juta pon lada, yang dikumpulkan Fatimah untuk Kompeni. Kesatuan-kesatuan Kompeni terhalau sehingga tinggal berta­han dalam dua bentengnya, Speelwijk dan Diamant.

Fatimah sendiri, yang sudah tak dapat diharapkan se­suatunya oleh Kompeni, bersama dengan kemenakannya, Sultan Banten, oleh Belanda dinaikkanlah ke kapal dengan diam-diam dan disembunyikan di Pulau Edam/Damar di Teluk Batavia sampai meninggalnya pada tahun berikutnya. Pemberontakan rakyat terus berlanjut sampai jauh di kemu­dian hari. Tapi pada akhirnya Kompeni Belanda juga yang mendapatkan apa yang diharapkan: Banten menjadi bawah­an Kompeni mengakhiri beberapa pergantian Sultan, dengan ancaman pemenuhan upeti komoditi kepadanya dan wila­yah Banten akan jadi milik Kompeni bila syarat-syarat pada Sultan tak terpenuhi. Dengan demikian berakhir persaingan dagang antara Banten dan Batavia.

Barangsiapa sampai ke Banten Lama, melihat masjid raya dan jalan-jalannya, dan teluknya, orang akan tercenung mengenangkan sejarah kerajaan Banten yang gelisah menjadi percobaan sejarah pertemuan antara Eropa, Belanda dan kolonialismenya, dan rakyat Banten dengan upayanya untuk tetap mandiri jadi dirinya sendiri.

Sudah sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa, Banten mencoba memperkuat diri dengan jalan mengadu-domba antara bangsa-bangsa tersebut: Belanda, Inggris. Tetapi apa pun yang diupayakan Banten, biar pun sementara ia berada di pihak yang mendapatkan keuntungan, pada akhirnya yang menguasai laut juga yang keluar sebagai pemenang. Akibat pengadudombaan itu Belanda menyingkir ke Jayakarta, mendirikan basis usaha sendiri, memblokade Teluk Banten, mendirikan Batavia, dan menggiring armada-armada dagang internasional ke pelabuhannya: Sunda Kelapa. Itu terjadi dalam dasawarsa kedua abad 17.

Banten semasa pemerintahan Sultan Ageng dalam paroh kedua abad 17 adalah kerajaan Pribumi pertama yang dengan sadar atau tidak menyerap kekuatan dari Eropa. Untuk itu semua pelarian Kompeni dari Batavia, juga para budak belian, diterima dengan tangan terbuka. Sultan memerintahkan pembangunan kapal-kapalnya menurut model Eropa sehingga mampu menempuh pelayaran jarak jauh, menjelajahi seluruh Nusantara, Filipina, dan India. Dengan sendirinya dengan membawa komoditi untuk pasar internasional. Awak kapal­kapalnya pun banyak terdiri dari orang Eropa, pelarian dari Batavia. Juga prajurit-prajuritnya dilatih baris-berbaris menurut aturan militer profesional Eropa. Seorang pelarian, tukang batu, Hendrik Lucasz. Cardeel, memasukkan teknologi bangunan Eropa ke Banten. Karena jasanyalah dengan mem­bawahi para tukang Pribumi dapat dibangun bangunan­-bangunan besar dengan teknologi Eropa, antaranya Tamansari Tirtayasa dan Masjid Raya Banten, yang masih tegak berdiri sampai sekarang.

 

(Dari buku : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels - PRAMODYA ANANTA TOUR)

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar