Sabtu, 18 September 2010

HAJI AGUS SALIM Politisi Melarat dari Kota Gedang

 

H. Agus Salim ketika di Amerika.

Dia perpaduan antara intelektualitas, kesederhanaan, dan kematangan berpolitik. Pemikir dan politisi Islam yang melampaui zamannya.

 

D

 l ALAM sebuah rapat Sarekat Islam, almarhum Haji Agus Salim pernah saling ejek dengan Muso-tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Ketika Muso berada di podium, ia bertanya kepada hadirin:

`Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?' Hadirin menjawab, "Kam­bing!"

"Kalau  orang yang berkumis itu seperti apa?"

"Kucing!" jawab hadirin. Setelah Muso turun podium, giliran Agus Salim yang ber­pidato. "Saudara-saudara," kata Agus Salim, yang memang me­melihara jenggot dan kumis, "orang yang tiduk berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?" Hadirin herteriak riuh, "Anjing !" Agus Salim tersenyum dan meneruskan pidatonya.

Cerita nyata itu menggam­barkan betapa bagi seorang Haji Agus Salim, politik adalah soal serius yang bisa dihadapi de­ngan enteng. Ketika menjadi anggota Volksraad di zaman Belanda, ia adalah singa podium. la ahli debat yang lincah dam tajam dalam mengkritik. Jarang ada orang yang berani berdebat dengan Haji Agus Salim," kata Mohamad Roem, politisi yang pernah lama bergaul dengan Agus Salim dalam organisasi Jong Islamieten Bond.

Agus Salim lahir di Kota Ge­dang, Bukittinggi,Sumatra Barat, pada 8 Oktober 1884. Ia adalah anak keempat dari Sutan Moe­hammad Salim, seorang jaksa di pengadilan negeri. Karena ke­dudukan ayahnya itulah Agus Salim, yang nama aslinya adalah Mashudul Haq, bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda de­ngan lancar-di samping juga karena kepintarannya yang di atas rata-rata anak seusianya. Ketika lulus HBS ( bogere bur­gerschool) pada usia 19 tahun, ia mendapat predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Sura­baya, Semarang, dan Jakarta. Karena prestasinya itu, Agus Salim muda sangat berharap permohonan beasiswanya un­tuk melanjutkan sekolah ke­dokteran ke Belanda dikabul­kan pemerintah.

Tapi, kenyataan berkata lain. Permohonan itu ditolak. Agus Salim patah arang. Sewaktu Kar­tini, anak Bupati Jepara, merekomendasikan Salim muda agar menggantikan dirinya berang­kat ke Belanda, ia menolak. "Kalau beasiswa itu akan diberi­kan kepadaku karena desakan Kartini saja, lebih baik tidak ku­terima," katanya ketika itu. Belakangan, Agus Salim bahkan memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja se­bagai pegawai negeri pada kon­sulat Belanda di kota itu.

Karir politik Agus Salim ber­awal di Sarekat Islam (SI). Di sana, ia bergabung dengan H.O S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, Agus Salim pun merasa perjuangan "dari dalam' tidak membawa manfaat Ia pun keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.

Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di Sarekat Islam. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokro aminoto menolaknya. Buntut perpecahan ini, SI terbelah dua Semaun membentuk Sarekal Rakyat sedangkan Agus Salirn tetap bertahan di SI. Organisasi Semaun itu belakangan berubah menjadi PKI.

Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri,Jong lslamieten Bond. Di lembaga inilah Salim pernal dituduh memecah belah pemuda berdasarkan sentimen keagamaan. Tapi Agus Salim menampik tudingan ini. Menurut dia, Jong Islamieten Bond justru mengembalikan harkat orang Indonesia di mata Belanda.

Di lembaga itu pulalah Agus Salim melakukan gebrakan-gebrakan untuk menentang doktrin keagamaan yang kaku. Dan di kongres Jong Islamieter Bond di Yogyakarta pada 1925 para perempuan dan laki-lak duduk terpisah dengan dipisahkan tabir. Perempuan di belakang, laki-laki di depan.

Dua tahun kemudian, dalam kongres organisasi itu yang kedua di Solo, Agus Salim dengan persetuyan pengurus Jong Islamieten Bond membuka tabir yang memisahkan perempuan dan laki-laki tersebut. "Ajaran dan semangat Islam meme­lopori emansipasi perempuan," kata Salim berapi-api. Kisah ini belakangan sering diulang­-ulang Sukarno dalam pidato politiknya untuk menerangkan perlunya memandang Islam sebagai agama yang terbuka.

Ketegasan sikap Agus Salim sebagai politisi ini bersatu de­ngan sikap kesederhanaan yang mengental dalam dirinya. Se­lama tinggal di Jakarta, hidup­nya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. la pernah tinggal di Gang Tanah tinggi, lalu ke Gang Teopekong, ke Jatinegara, lalu berpindah entah ke mana lagi. Kabarnya, sedikit dari rumah­-rumah yang "disinggahi" Haji Agus Salim yang luas dan nya­man. Selebihnya adalah rumah kecil dan terkadang hanya ter­diri dari satu kamar. Sebuah tem­pat yang harus diisi oleh se­pasang suami-istri dengan de­lapan orang anak yang masih kecil-kecil.

Tapi, menjadi miskin, toh, ti­dak membuat keluarga Agus Sa­lim murung. Mohamad Roem, yang sering bertandang ke rumah Agus Salim, bercerita bagaimana cerianya keluarga itu. Anak-anak tumbuh sebagai anak yang ramah dan pandai. "Kegembiraan bersama anak-­anak Haji Agus Salim membuat kita lupa betapa melaratnya keluarga ini," kata Roem.

Tapi satu hal yang sulit dilupa­kan dari Agus Salim adalah si­kapnya terhadap lembaga pen­didikan formal. Dari delapan anaknya, hanya satu, yang pal­ing bungsu, yang disekolahkan Agus Salim secara formal. Sisa­nya diajarnya sendiri di rumah. Dan yang menarik, Agus Salim, toh, tidak membagi keseharian anaknya dalam jam bermain dan jam sekolah secara kaku. Baginya, dunia anak adalah dunia belajar dan bermain se­kaligus.

Namun, dengan pendidikan macam itu, Agus Salim justru menghasilkan anak-anak yang cemerlang. Kedelapan anaknya umumnya bisa herbahasa Be­landa dalam usia empat tahun. Jusuf Taufik, anaknya yang ke­dua, telah membaca Mahaba­rata dalam bahasa Belanda pada usia 13 tahun. Dolly, anak­nya yang pertama, menghafal beberapa sajak Belanda dalam usia belasan. "Saya telah melalui jalan berlumpur akihat pendi­dikan kolonial," kata Agus Salim suatu ketika. Bagi Agus Salim, penolakan terhadap pendidik­an formal kolonial adalah ben­tuk pembangkangannya terha­dap kekuasaan Belanda di republik ini.

Walhasil, Agus Salim adalah manusia yang utuh: intektual yang terbuka, politisi yang ulung, dan pendidik yang ber­hasil. Ia wafat pada 4 November 1954 dalam usia yang lanjut, 70 tahun.

Aril Zulkilli

TEMPO, 16 JANUARI 2000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar